Monday, April 2, 2012

Kasus Aspek Hukum Dalam Ekonomi Tugas Khusus 5

Pola Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Latar belakang masalah
Persoalan pelanggaran HAM merukan persoalan yang sering terjadi kapan saja dan dimana saja. Setiap hari, minggu, dan setiap bulan persoalan pelanggaran HAM terjadi dalam berbagai bentuk dan di berbagai tempat yang menuntut partisipasi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam hal ini yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah adalah polisi dibidang penyidikan, jaksa dibidang penuntutan, dan hakim dalam hal member keputusan. Ketiga penegak hukum tersebut disebut juga catur wangsa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pelanggaran HAM yang terjadi setiap hari dikalangan masyarakat bisa diselesaikan dengan berbagai cara, baik dengan cara diselesaikan tanpa campur tangan pemerintah yang disebut juga dengan non litigasi, maupun dengan cara melibatkan pemerintah atau yang disbut uga dengan litigasi. Secara non litigasi bisa terjadi dengan cara rekonsiliasi, negosiasi, musyawarah dan perdamaian atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan secara litigasi tahap pertama dilakukan penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, dan sampai putusan di pengadilan.

Rumusan masalah
Dari gambaran diatas dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas atau yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini meliputi beberapa masalah, antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ?
2. Cara-cara apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikannya ?
3. Bagaimana cara beracara di depan pengadilan ?




Pola penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia
Bentuk penyelesaian kasus atau sengketa secara umum dapat di bagi menjadi dua cara, yaitu:
1. Litigasi
2. Non litigasi
Penyelesaian hukum secara litigasi adalah penyelesaian hukum melalui jalur pengadilan baik itu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha Negara, dan pengadilan militer tergantung perkara apa yang diaujukan ole pihak yang bersengketa. Dalam bukunya Agnes M.toar yang berjudul seri dasar-dasar hukum ekonomi 2 arbitrase di Indonesia menyebutkan bahwa litigasi merupakan suatu proses gugatan suatu konflik yang diriutalisasikanyang menggantikan konflik sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Aturannya sudah dimuat dalam aturan khusus dalam undang-undang materiil dan dalam undang-undang formil. Sedangkan non litigasi merupakan proses penyelesaian perkara atau kasus diluar pengadilan. Penyelesaiannya bisa terjadi melalui cara mediasi, konsiliasi dan bisa juga terjadi dengan kesepakatan bersama untuk mengakhiri persengketaan antar kedua belah pihak.
Sifat penyelesaian sengketa litigasi dan non litigasi
1. Sifat litigasi
a. Prosesnya makan waktu lama
b. Terbuka untuk umum (kecuali kasus khusus : misalnya pelecehan seksual, kasus anak)
c. Penerapan hukum acaranya bersifat mengikat
2. Sifat non litigasi
a. Penyelesaian sengketa bisa lebih cepat
b. Konfidensial (tertutup)
c. Tidak formal
d. Penyelesaiannya oleh tim yang professional
e. Putusan final dan binding (mengikat)
Penyelesaian sengketa secara litigasi
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Melalui jalur ini keputusan akan terjamin dapat memuaskan hati kedua belah pihak, karena pengadilan bersikap adil dan objektif dalam memberi keputusan. Selain itu pengadilan dalam memvonis seseorang bersalah dan menghukum dapat menimbulkan efek jera . Pengadilan juga mandiri independen dalam memberikan keputusan dan tanpa intimidasi dan paksaan dari pihak lain dalam memberikan keputusan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan disebut juga dengan pelibatan pihak ketiga , pihak ketiga inilah yang disebut dengan pengadilan.
Penyelesaian sengketa secara non litigasi
Cirri utama dalam penyelesaian melalui jalur non litigasi atau non adjudikasi adalah kesepakatan pihak-pihak yang berperkara. Apabila kedua belah pihak sudah sepakat maka perkara tersebut selesai.
Cara penyelesaian sengketa alternatif menurut UU No.30 tahun 1999 adalah :
1. Arbitrase
Arbitrase merupakan bentuk lain dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat. Para pihak, baik yang mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami sengketa yang tidak mampu diselesaikan melalui musyawarah, sepakat untuk menyerahkan sengjetanya kepada pengambil keputusan privat dengan cara-cara yang mereka tentukan bersama. Dengan cara ini para pihak menghindari penyelesaaian sengketa melalui peradilan umum.
2. Negosiasi
Dalam kamus lengkap bahasa terkini negosiasi merupakan tawar menawar melalui perundingan demi mencapai kesepakatan. Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.

3. mediasi
Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka.
4. Konsiliasi
Konsiliasi Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka. Konsiliasi dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan .
5. pendapat ahli
pendapat ahli adalah pendapat seseorang yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Ahli disini merupakan ahli dibidang hukum, orang yang mampu menguasai seluk-beluk hukum .

Jenis dan penyelesaian sengketa melalui forum internasional
Penyelesaian sengketa internasional terdapat dalam pasal 33 piagam PBB yang merupakan sumber semua sengketa HAM. Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa intenasional, yaitu sebagai berikut :
1. Negosiasi (dalam UU no 39/1999 disebut dengan konsultasi)
2. Penyelidikan (enquiry). Hal ini dilakukan untuk menyeldiki latar belakang timbulnya sengketa, serta fakta-fakta)
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Arbitrasi
6. Penyelesaian melalui pengadilan.
Proses beracara dalam kasus pelanggaran HAM
Terdapat beberapa tahap dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, antara lain sebagai berikut :
Tahap penerimaan berkas perkara
Hal-hal yang dilayani pada tahap pemeriksaan perkara, yaitu :
1. Menerima berkas perkara dari petugas yang berwenang dan lengkap dengan surat tuduhan dari jaksa.
2. Mendaftarkan perkara dalam buku register perkara
3. Member nomor register dan mengirimkan kepada panitera perkara
4. Menerima barang-barang bukti dan dicatat seteliti mungkin dalam buku register barang bukti

Tahap persiapan
Beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap persiapan ini, yaitu sebagai berikiut :
1. Panitera perkara sebelum meneruskan berkas perkara yang baru diterimanya itu kepada ketua pengadilan negeri, terlebih dahulu mencatatnya dalam buku register untuk perkara pidana
2. Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah berkas perkara pidana diterima panitera, berkas-berkas perkara pidana itu sudah diterima oleh ketua pengadilan
3. Sesudah itu ketua pengadilan negeri mencatat dalam buku register yang ada padanya dan dipelajari agar mendapat gambaran secara garis besar duduk perkaranya kasus
4. Selambat-lambatnya 7 hari setelah diterimanya perkara tersebut, ketua/wakil ketua pengadilan negeri harus sudah menunjuk mejelis hakim untuk mengadili perkara tersebut
5. Bersamaan penunjukan majelis hakim berkas perkara diberikan kepada majelis hakim yang bersangkitan
6. Sebelum menyidangkan, ketua mejelis harus menentukan arah serta rencana pemeriksaannya setelah para hakim mempelajari berkas perkara yang bersangkutan
7. Sebelum persidangan dimulai juru sita pengganti harus mengecek dahulu apakah terdakwa, saksi, dan jaksa penuntut umum, sudah datang dan lengkap berada disidang pengadilan
8. Apabila sudah lengkap, hal ini dilaporkan kepada panitera pengganti yang bersangkutan, kemudian melaporkannya pada ketua majelis yang akan memeriksa perkara.
9. Setelah itu ketua majlis memerintahkan agar persidangan dimulai.

Tahap penyelesaian perkara/tahap persidangan
Tahap penyelesaian perkara disidang pengadilan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat.
1. Pemeriksaan dengan acara cepat
Pemerikaan dengan acara biasa dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
a. Tahap pemanggilan
b. Tahap pembukuan dan pemeriksaan identitas terdakwa
c. Tahap pembacaan surat dakwaan
d. Tahap eksepsi
e. Tahap pembuktian
f. Tahap requisitoir (tuntutan dari jaksa penuntut)
g. Tahap pledoi
h. Tahap replik dan duplik
i. Tahap putusan

Kesimpulan
Pelanggaran HAM merupakan tindakan yang setiap hari dilakukan oleh orang-orang yang tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan. Perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepentingan dan kemauan akan sesuatu yang ingin didapatkan sehingga mengorbankan hak-hak orang lain.
Oleh karena tindakan pelanggaran HAM setiap hari terjadi diberbagai tempat dan waktu menuntut kita atau para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan pengadilan untuk mengembalikan hak-hak mereka yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Proses penyelesaian sengketa HAM biasa dilakukan dengan dua cara secara umum, antara lain litigasi dan nonlitigasi. Proses litigasi biasanya dilakukan oleh para penegak hukum atau yang disebut juga dengan catur wangsa. Mereka inilah yang mmepunyai wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggran HAM. Sedangka penyelesaian segketa secara non litigasi dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Dengan cara bagaimana pihak-pihak tersebut menyelesaikan sengketa terserah kepada orang tersebut. Baik dengan cara mediasi, negosiasi, dan dengan cara arbiter.

Sumber:
http://mansaripayalinteung.blogspot.com/2011/11/pola-penyelesaian-kasus-pelanggaran-ham.html

Kasus Aspek Hukum Dalam Ekonomi Tugas Khusus 4

ASPEK HUKUM PENYELESAIAN KREDIT MACET

DUNIA perbankan Indonesia kembali dilanda kredit bermasalah. Berdasarkan audit BPK, setidaknya 24 kredit yang disalurkan Bank Mandiri senilai Rp2 triliun lebih macet. Pengucuran kredit tersebut diduga diwarnai kolusi antara pejabat Bank Mandiri dan debitur. Hal ini terindikasi dari adanya permohonan kredit yang semula dinyatakan tidak layak, namun kredit tetap dikucurkan. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap direksi Bank Mandiri dimaksudkan untuk menguak keterlibatan mereka dalam pengucuran kredit tersebut.Sebenarnya skandal Bank Mandiri hanya sebagian kecil dari segudang kasus kredit macet yang terjadi di lembaga perbankan Indonesia. Masih banyak konglomerat menikmati fasilitas kredit, baik yang dikucurkan karena KKN atau kroniisme yang jumlahnya boleh jadi melebihi kredit Bank Mandiri.
Kita patut prihatin melihat tingginya angka kredit macet di Indonesia. Yang lebih memprihatinkan lagi, dari sejumlah kasus kredit macet tersebut, sebagian besar yakni sekitar 60-70%, diderita bank pemerintah.
Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menekan kuantitas kredit macet di lembaga perbankan. Pemerintah pernah membentuk Tim Supervisi Kredit Bermasalah Bank Pemerintah guna memantau penyelesaian kredit macet. Kemudian diluncurkan program sistem informasi kredit (SIK) antarbank untuk mengetahui nasabah (debitur) yang mempunyai catatan buruk karena pernah memacetkan kredit.
Manakala langkah preventif mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan kredit macet, ditempuhlah upaya represif yaitu diselesaikan melalui pengadilan. Upaya tersebut dilakukan mengingat pengadilan merupakan benteng terakhir bagi setiap orang untuk menyelesaikan segala persoalan, termasuk kredit macet.
Sebelum ditempuh jalur pengadilan, biasanya bank mencoba mengupayakan penyelesaian secara musyawarah dengan melakukan rescheduling, reconditioning, dan restructuring terhadap perusahaan (debitur) penunggak kredit. Apabila upaya tersebut tidak juga berhasil, tidak tertutup kemungkinan diselesaikan melalui jalur hukum dengan melibatkan institusi pengadilan.
***
Sebelum ditempuh penyelesaian melalui jalur hukum, perlu kiranya diketahui apakah persoalan kredit macet termasuk dalam lingkup hukum perdata atau pidana. Pada asasnya kredit macet merupakan persoalan hukum perdata, yaitu hubungan personal antara perseorangan atau badan hukum yang satu dengan lainnya di bidang harta kekayaan.
Dalam terminologi hukum perdata hubungan antara debitur (peminjam kredit) dan kreditor (bank atau LKBB selaku pemberi kredit) merupakan hubungan utang piutang yang lahir dari apa yang disebut perjanjian, yakni kedua belah pihak berjanji untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.
Pihak debitur dengan memperoleh kredit dari bank berjanji kepada kreditor (bank) untuk mengembalikan kredit beserta biaya dan bunga sesuai waktu yang telah disepakati bersama. Untuk menjamin dilaksanakannya janji tersebut debitur memberikan pengikat yang lazim disebut jaminan atau agunan, baik kebendaan maupun perorangan.
Dengan adanya jaminan tersebut, manakala debitur ingkar janji, yaitu tidak memenuhi kewajiban sesuai perjanjian, kreditor dapat menuntut pemenuhan utang dari barang jaminan. Kreditor dapat meminta dilakukan penyitaan dan penjualan lelang atas agunan dan aset lain milik debitur jika agunan tidak mencukupi untuk membayar utang.
Kasus kredit macet, yang pada dasarnya merupakan persoalan hukum perdata, tidak tertutup kemungkinan bersinggungan dengan hukum pidana. Tindakan cepat Kejaksaan Agung yang menjadikan empat debitur Bank Mandiri sebagai tersangka didasarkan pada adanya indikasi kuat telah terjadi tindak pidana dalam pengucuran kredit tersebut.
Aspek kriminal dari kasus kredit macet umumnya terjadi pada saat proses permohonan kredit dan pada saat pengucuran kredit. Ketika permohonan kredit diajukan, tidak jarang terjadi kenakalan debitur, baik sendiri atau atas kerja sama dengan pejabat bank, seperti melakukan kolusi dan konspirasi dalam penyaluran kredit.
KKN antara debitur dan pejabat bank agaknya sudah mentradisi dalam penyaluran kredit, terutama di bank pemerintah. Akibat diwarnai KKN maka banyak terjadi pengucuran kredit meski tanpa didahului akad kredit atau tanpa agunan yang safe. Dalam skandal Bapindo yang melibatkan Edy Tanzil beberapa tahun lalu terjadi penyuapan uang ratusan juta kepada direksi Bapindo dan pejabat terkait guna mengucurkan kredit Rp1,3 triliun.
Menurut Pasal 49 ayat 2 UU Perbankan (UU No 7/1992 jo UU No 10/1998) pejabat bank (komisaris, direksi, atau pegawai), baik pada bank swasta atau bank pemerintah, yang melakukan kolusi dengan debitur untuk mempermudah pemberian kredit, diancam penjara minimal 3 tahun maksimal 8 tahun dan denda minimal Rp5 miliar maksimal Rp100 miliar.
Apabila kolusi dilakukan oleh pejabat bank pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara, dapat dijerat UU Korupsi (UU No 3/1971 jo UU No 31/1999) dengan ancaman hukuman seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun dan denda paling tinggi Rp30 juta. Bahkan, jika korupsi tersebut merugikan negara dalam jumlah amat besar dan berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat, diancam pidana mati.
Jadi, sudah jelas bahwa perangkat hukum pidana dan perdata telah memberikan pedoman dalam penyelesaian kasus kredit macet. Persoalannya sekarang adalah apakah peranti hukum yang tersedia tersebut telah didayagunakan secara optimal dan konsisten oleh pemerintah dalam menyelesaikan kasus kredit macet di Indonesia.
Penyelesaian secara internal, seperti rescheduling, reconditioning, dan restructuring tidak boleh mengabaikan aspek hukum perdata jika memang perlu dilakukan. Apabila kasus kredit macet semata-mata karena masalah perdata murni, penyelesaian melalui jalur hukum perdata hendaknya ditempuh dengan baik. Kesemuanya itu dimaksudkan agar skandal kredit macet dapat diminimalisasi dari panggung perbankan kita.
Namun, upaya penyelesaian melalui jalur hukum perdata tidak boleh menutup jalur hukum pidana jika memang terdapat indikasi terjadi tindak kriminal. Apabila dalam suatu kasus kredit macet terdapat bukti-bukti awal terjadinya pelanggaran hukum pidana, perbuatan tersebut harus ditindak secara tegas dan transparan.
Inkonsistensi penegakan hukum di samping mengakibatkan berlarut-larutnya penyelesaian kasus kredit macet, juga dapat menjadikan perangkat hukum kita mandul sehingga tidak mempunyai daya upaya untuk memaksa debitur nakal memenuhi kewajibannya. Ujung-ujungnya, yang dirugikan adalah lembaga perbankan dan negara secara keseluruhan.(M Khoidin, alumnus Program S-3 Ilmu Hukum Unair Surabaya)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 9 Mei 2005

http://m.antikorupsi.org/?q=node/4688

Sunday, April 1, 2012

Kasus Aspek Hukum dalam Ekonomi 3

CONTOH KASUS ASPEK HUKUM DALAM ASURANSI

KasusAsuransi dan Cara Penyelesaiannya
PENYELESAIAN KLAIM ASURANSI CONTRACTORA ALL RISK(STUDI KASUS PADA PT.ASURANSI WAHANA TATA TERHADAP PROYEK PEMBANGUNAN JEMBATAN KEBON AGUNG SLEMAN YOGYAKARTA)
Setahun yang lalu pernah terjadi sebuah kasus dalam penyelesaian klaim asuransi oleh perusahaan konstruksi atas proyek pembangunan jembatan Kebon Agung yang menghubungkan wilayah Kabupaten Sleman dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo di Yogyakarta. Klaim tersebut didasari beberapa kali peristiwa yang tidak terduga yang terjadi dalam pengerjaan proyek tersebut. Pertama, peristiwa terjadi pada bulan November 2007, pada saat melaksanakan gelagar bentangan, setelah pemasangan, selang waktu kurang lebih 17 jam, satu buah bentangan jatuh, dan satu buah girder yang telah terpasang jatuh dan menyebabkan pecah sehingga timbul kerugian material. Pada kasus pertama ini pelaksana konstruksi PT Hutama Karya terlambat membayar premi, seharusnya klaim yang diajukan ditolak oleh PT. Asuransi Wahana Tata. Namun, dengan pertimbangan adanya hubungan baik antara pihak pelaksana konstruksi dengan pihak PT.Asuransi Wahana Tata, maka klaim tetap dapat diajukan dan memperoleh ganti rugi meskipun dalam jumlah yang tidak semestinya. Hubungan baik ini dalam istilah asuransi dinamakan Ex Gratia. Hal ini dilakukan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak. Kedua, tidak lama berselang peristiwa berikutnya terjadi terjadi pada bulan Desember 2007, ketika itu sedang musim hujan sehingga menyebabkan Kali Progo tempat proyek tersebut banjir dan meluap hingga 3 meter. Kondisi ini, menyebabkan pasangan batu dan beton bertulang runtuh dan lima buah girder retak. Klaim dapat dilaksanakan secara normal (sesuai pertanggungan), karena semua prosedur telah dipenuhi sesuai persyaratan. Sehingga, pelaksana konstruksi mendapatkan ganti rugi sesuai dengan jumlah yang tercantum di dalam polis.

PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI PADA POLIS ASURANSI YANG MENCANTUMKAN KLAUSULA ARBITRASE(STUDI KASUS PADA POLIS PT ASURANSI HANJIN KORINDO DAN POLIS PT ASURANSU JAYA PROTRKSI)

Secara garis besar substansi dari polis asuransi terdiri dari uraian mengenai obyek yang dijamin, nama dan alamat penanggung dan tertanggung, jangka waktu berlakunya polis, risiko atau bahaya yang dijamin dan dikecualikan, syarat-syarat atau ketentuan umum dan yang terakhir adalah cara penyelesaian sengketa atau perselisihan apabila terjadi klaim yang biasanya disebut klausula arbitrase atau penyelesaian sengketa. Klausula arbitrase dalam polis asuransi memuat ketentuan apabila terjadi sengketa antara penanggung dan tertanggung maka para pihak sepakat untuk mengupayakan penyelesaian secara musyawarah (amicable setllement), namun apabila penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Semua polis asuransi yang dikeluarkan oleh AAUI memuat klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase, karena itu dalam penulisan ini akan dikaji lebih lanjut perihal pencantuman klausula arbitrase dalam polis asuransi dan kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa asuransi yang ditempuh oleh para pihak. Penulisan ini akan membahas dua polis asuransi yang sama-sama mencantumkan klausula arbitrase dan proses penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh penanggung dan tertanggung. Kedua polis yang dibahas yakni polis PT Asuransi Hanjin Korindo dan PT Asuransi Jaya Proteksi memiliki klausula arbitrase yang sama dan juga sengketa yang sama yakni masalah liability akan tetapi terdapat inkonsistensi dalam pemberian putusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terkait kedua perkara tersebut .Inkonsitensi yang terdapat dalam kedua putusan tersebut dapat terjadi karena substansi klausula arbitrase dalam polis yang kurang jelas dan menyebabkan multi penafsiran, dimana pilihan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ditetapkan apabila terjadi sengketa terkait perbedaan jumlah yang harus dibayarkan berdasarkan polis, sedangkan tidak ada ketentuan lain yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa terkait polis apabila menyangkut liability.

Sumber :
makalahhukum.wordpress.com/hukum-perbankan/
wartawarga.gunadarma.ac.id/tugas-aspek-hukum-dalam-ekonomi-hukum-tentang-asuransi/
xsaelicia.blogspot.com/makalah-mengenai-hukum-tentang-asuransi.html
rizkieartikelsaja.blogspot.com/makalah-hukum-perbankan-pencucian-uang.html